Resolusi Jihad N.U |
Resolusi Jihad N.U |
Siaran berita proklamasi kemerdekaan sampai ke Surabaya dan kota-kota lain di Jawa, membawa siatuasi revolusioner tanpa komando. Rakyat berinisiatif mengambil alih berbagai kantor dan instalasi dari penguasaan Jepang.
31 Agustus 1945
Belanda mengajukan permintaan kepada pimpinan Surabaya untuk mengibarkan bendera Tri-Warna untuk merayakan kelahiran ratu Belanda Wilhelmina Armgard.
17 September 1945
KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa jihad berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fi sabilillah, fatwa ini merupakan penjelasan atas pertanyaan presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.
19 September 1945
Terjadi insiden tembak menembak di hotel Oranje, seorang kader pemuda Ansor bernama Cak Asy'ari menaiki tiang bendera dan merobek warna biru sehingga hanya tertinggal merah putih.
23-24 September 1945
Terjadi perebutan dan pengambil alihan senjata dari markas dan gudang-gudang Jepang oleh laskar-laskar rakyat termasuk Hizbullah.
25 September 1945
Bersamaan dengan situasi Surabaya yang semakin mencekam, laskar Hizbullah Surabaya di pimpin oleh kh. Abdun Nafik melakukan konsolidasi untuk membentuk cabang-cabang Hizbullah Surabaya Tengah, Barat, Selatan dan Timur.
21-22 Oktober 1945
PBNU menggelar rapat konsul Nu se Jawa dan Madura yang di gelar di kantor Holdsbestuur Nahdotul Ulama di jalan Bubutan V1 no 2 Surabaya. Di tempat inilah setelah membahas situasi perjuangan dan membicarakan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di akhir pertemuan pada tanggal 22 oktober 1945 akhirnya mengeluarkan sebuah resolusi jihad sekaligus menguatkan fatwa jihad Rais Akbar NU Hadratussyaikh KH.Hasyim Asy'ari.
25 Oktober 1945
Sekitar 6000 pasukan Inggris yang tergabung dalam brigade ke-49 Devisi ke 26 India mendarat di Surabaya. Pasukan ini di pimpin oleh Brigjend AWS Mallaby. Pasukan ini di boncengi NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
26 Oktober 1945
Terjadi perundingan lanjutan mengenai genjatan antara pihak Surabaya dan pasukan sekutu, hadir dalam perundingan itu brigjends AWS Mallaby dan jajaran dari pihak Surabaya di wakili Sudirman, Dul Arnowo, Radjamin Nasution (walikota Surabaya) dan Muhammad.
27 Oktober 1945
Mayjen DC Hawtorn bertindak sebagai panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) untuk Jawa, Madura, Bali, Lombok menyebarkan pamflet melalui udara menegaskan kekuasaan Inggris di Surabaya dan pelarangan memegang senjata selain bagi mereka yang menjadi pasukan Inggris, jika ada yang memeggangnya dalam pamflet tersebut bahwa Inggris memiliki alasan untuk menembaknya. Laskar Hizbulloh dan para pejuang Surabaya marah dan langsung bersatu menyerang Inggris pasukan Inggris pun balik menyerang dan terjadi pertempuran di penjara Kalisosok yang ketika itu berada dalam penjagaan pejuang Surabaya.
28 Oktober 1945
Laskar Hizullah dan para pejuang lainnya berbekal senjata hasil rampasan dari Jepang, bambu runcing dan crulit melakukan serangan frontal terhadap pos-pos dan markas pasukan Inggris. Inggris kewalahan menghadapi gelombang kemarahan rakyat dan massa yang semakin menjadi-jadi.
29 Oktober 1945
Terjadi baku tembak terbuka dan peperangan masal di sudut-sudut kota Surabaya. Pasukan Hizbullah Surabaya Selatan mengepung pasukan Inggris yang ada di gedung HBS, BPM, Stasiun kereta api SS
dan kantor Kawedanan. Kesatuan Hizbullah dari Sepanjang bersama TKR dan Pemuda Rakyat Indonesia (PRI) mengempur pasukan Inggris yang ada di stasiun kereta api trem OJS Joyoboyo.
29 Oktober 1945
Perwira Inggis kolonel Cruickshank pihaknya telah terkepung , Mayjen Hawtorn dan Brigade ke-49 menelepon dan meminta presiden Soekarna agar menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan pertempuran. Hari itu juga dengan sebuah perjanjian Presiden Soekarno dengan di dampingi wakilnya Muhammad Hatta terbang menuju Surabaya dan langsung turun ke jalan-jalan meredakan situasi perang.
30 Oktober 1945
Gencatan senjata di capai kedua pihak laskar arek-arek Surabaya dan pasukan Inggris di sepakati di adakan pertukaran tawanan. Pasukan Inggris mundur ke pelabuhan Tanjung Perak dan Darmo (kamp Interniran) dan mengakui eksistensi Republik Indonesia.
30 Oktober 1945
Sore hari usai kesepakatan gencatan senjata, rombongan biro kontak Inggris menuju ke gedung Internatio yang terletak di samping Jembatan Merah. Namun sekelompok pemuda Surabaya menolak penempatan pasukan Inggris di gedung tersebut. Mereka meminta pasukan Inggris kembali ke Tanjung Perak sesuai kesepakatan gencatan senjata, hingga akhirnya terjadi ketegangan yang menyulut baku tembak. Di tempat ini secara mengejutkan Brigjend Mallaby tertembak dan mobilnya terbakar.
3 1 Oktober 1945
Panglima AFNEI Letjen Philip Christison mengeluarkan ancaman dan ultimatum jika para pelaku serangan yang menewaskan brigjen Mallaby tidak menyerahkan diri, maka pihaknya akan akan mengerahkan kekuatan militer darat, laut dan udara untuk membumi hanguskan Surabaya.
7-8 November 1945
Kongres umat Islam di yogyakarta mengukuhkan resolusi jihad, Hadratussyaikh KH.Hasyim Asy'ari sebagai kebulatan sikap merespon makin gentingnya keadaan pasca ultimatum AFNEI.
9 November 1945
Hadratussyaikh KH.Hasym Asy'ari sebagai komando tertinggi laskar Hizbullah menginstruksikan agar Hizbullah dari berbagai penjuru untuk memasuki Surabaya guna bersiap menghadapi kemungkinan dengan satu sikap akhir, menolak menyerah.
KH.Abas Buntet Cirebon di perintahkan memimpin langsung komando pertempuran. Para komandan resimen yang turut membantu Kiyai Abbas antara lain kiyai Wahab (Abdul Wahab Hasbulloh), Bung Tomo (Sutomo), Cak Roeslan (Roeslan Abdulgani), Cak Mansur (KH.Mas Mansur) dan Cak Arnowo (Doel Arnowo).
10 November 1945
Pertempuran kembali meluas menyambut berakhirnya ultimatum AFNEI Inggris mengerahkan 24.000 pasukan dari devisi ke-5 dengan persenjataan meliputi 21 tank Sherman dan 24 pesawat tempur dari Jakarta. Perang besar pun pecah, ribuan pejuang syahid, pasukan kiyai Abbas berhasil memaksa pasukan Inggris kocar kacir dan berhasil menembak jatuh 3 pesawat RAF Inggris.
Ikrar Santri Indonesia |